By : Ahsani Takwim
Mata Hadi Nampak masih sendu dan layu. Sudah enam hari enam malam ia tidak tidur hanya untuk menunggui istri tercintanya. Namun tubuh Marni masih tetap diam, matanya masih tetap tertutup, mulutnya masih tetap terkunci rapat, seolah-olah ia sedang tertidur nyenyak. Hanya hembusan nafasnyalah yang masih terdengar secara teratur. Terkadang Hadi merasa frustasi mengahadapi kejadian aneh yang selalu menerpanya ini.
Padahal apalah dosa Marni, istri yang baru dinikahinya sebulan lalu itu mendadak jatuh sakit. Sakit yang tak kunjung sembuh, sakit yang sama yang telah diderita oleh wanita-wanita sebelum Marni. Mereka adalah Surti, Fatimah dan Maryanti. Mereka yang sama-sama pernah menjadi istri Hadi mengalami hal yang serupa. Padahal Hadi menikahi mereka semua dengan cara yang baik-baik tanpa ada pikiran jahat sedikit pun.
Lama mata Hadi menatap tubuh Marni jengkal demi jengkal. Hampir tak ada cacat sedikitpun di dalam fisik Marni. Wanita ini memang bebeda. Marni memiliki wajah yang lebih manis dari pada istri-istri hadi sebelumnya, kulit yang putih bersih, rambut yang panjang dan halus. Padahal Marni hanyalah seorang gadis desa yang tak pernah ke salon-salon atau pusat-pusat kecantikan. Bahkan dalam keadaan seperti ini pun, Marni masih menujukkan kecantikannya.
Oleh karena itu, sekali ini Hadi tak akan membiarkan kejadian-kejadian yang dulu terulang kembali. Ia tidak akan pernah memejamkan matanya hingga Marni bangun dan kembali mengucapkan kata-kata cinta kepadanya lagi. Bahkan ia akan dengan senang hati menjual semua hartanya agar ia bisa menyembuhkan
Marni. Walau sudah ada dua mantri dan seorang dokter yang datang dan memberikan hasil yang sama. Hadi tidak menyerah. Bahkan tidak sedikit orang pintar yang telah ia datangi guna menyembuhkan istri tercintanya itu. Sambil duduk di sebelah ranjang Marni yang sudah mulai agak reot, pikiran Hadi mencoba untuk memecahkan permasalahan yang ada. Ingatannya kembali melayang ke masa lalu, masa dimana ia belum hidup bersama Marni. Masa dimana ia masih sendiri tanpa ada yang menemani. Hingga akhirnya ingatanya tertuju pada sebuah wajah, wajah seorang gadis yang pernah mengisi kehidupan remajanya di masa lalu. Wajah yang tidak akan pernah bisa dilupakan olehnya.
Wulan adalah nama gadis itu. Gadis yang merupakan pacar pertama yang pernah dimiliki oleh Hadi kala masih duduk di bangku sekolah. Wulan memang memiliki wajah yang yang sesuai dengan namanya. Wajahnya cerah secerah bulan purnama, kata-katanya lembut, rambut yang selalu terkuncit rapi dan selalu tersenyum kepada Hadi. Bahkan Hadi sempat tidak percaya saat gadis itu menerima ungkapan cinta yang dilontarkan oleh mulut Hadi.
Perjalanan cinta yang mereka jalani pun tidak jauh berbeda seperti kisah-kisah cinta anak remaja umumnya. Namun saat menginjak ke kelas tiga SMA terjadi sesuatu yang tidak biasa antara Hadi dan Wulan. Kejadian yang dulu tidak pernah mereka pikirkan mendadak datang dan menyergap mereka.
Waktu itu hari sabtu. Dimana siswa-siswi kelas Hadi mendapatkan giliran untuk melakukan latihan upacara, karena hari senin nanti adalah jadwal mereka utnuk melakukan upacara bendera. Mereka melakukan latihan bersama itu hingga sore hari.
Disela-sela latihan, Hadi mendekati wulan lalu berbisik. “Nanti jangan pulang dulu ya kalau sudah selesai.”
“Emang kenapa?”
“Ada sesuatu yang ingin aku kasih buat kamu.”
“apa?”
Pertanyaan itu tidak dijawab Hadi, karena Hadi langsung pergi meninggalkan Wulan.
Wulan hanya bisa mengrenyitkan dahinya. Namun ia merasa senang. Ia merasa bangga terhadap Hadi, karena lelaki ini begitu paham akan sifat Wulan yang suka diberi hadiah. Tapi entah mengapa perasaan Wulan sekali ini beda, ia merasa ada yang beda dari Hadi hari ini. Tidak seperti biasanya Hadi selalu mencoba mengindar dari Wulan. Seolah ada sesuatu yang luar biasa yang ingin disampaikan Hadi kepada wulan.
Tepat sekitar jam empat sore, latihan upacara pun selesai. Mata wulan terus menelusuri keadaan lapangan sambil berharap bisa menemukan Hadi. Namun sejauh matanya memandang belum ia temukan orang yang ia inginkan. Akhirnya ia pun memutuskan untuk duduk menunggu Hadi di depan ruang komputer. Dipandanginya sekeliling sekolah yang tampak mulai sepi, apalagi ditambah dengan warna langit yang mulai mendung.
Sekitar 15 menit menunggu, tiba-tiba ada yang menutup matanya dari belakang. Tetapi Wulan hanya tersenyum sambil meronta-ronta manja. Sudah hafal betul Wulan akan perilaku Hadi yang seperti itu.
“Sudah ah main-mainya.” Ucap Wulan dengan manja sambil tangannya memegang tangan Hadi dan berbalik badan.
Sejenak mereka saling berpandangan mata. Dan kemudian tanpa berbicara sepatah pun Hadi langsung menarik tangan Wulan dan berjalan menuju ke ruang kelas. Keadaan kelas yang sepi membuat suara langkah mereka terdengar begitu menggema.
“Ini.” Ucap Hadi sambill memberikan sebuah bingkisn kacil kepada Wulan setelah sampai di kelas.
Belum sempat tangan Wulan mengambil bingkisan yang berada di tangan Hadi, tiba-tiba petir menyambar dengan keras yang diikuti oleh turunnya hujan sore itu. Keadaan pun tiba-tiba menjadi hening. Mereka berdua hanya bisa memandang ke luar dengan perasaan yang bingung.
“Aku takut Had.” Suara Wulan keluar tanpa bisa ia cegah sambil mendekatkan badannya ke badan Hadi.
“Enggak apa-apa kok, kan ada aku disini.”
Masih dalam keadaan tubuh yang saling merapat. Wulan membuka bingkisan yang ia terima dari Hadi. “Had?” ucap wulan pelan saat melihat sebuah cincin kacil yang ia temukan dari dalam bingkisan tadi.
“Aku sayang kamu Lan, aku enggak mau kehilangan kamu.”
Tanpa mereka sadari, ternyata wajah mereka saling mendekat hingga akhirnya bibir mereka bertemu.
Mungkin karena keadaan yang mendukung, dimana tempat yang sepi ditambah dengan hujan yang nampaknya tak mau reda. Hadi menjadi seperti orang yang kerasukan setan. Ia terus melanjutkan perbuatannya hingga terjadilah peristiwa itu. Peristiwa yang telah merenggut mahkota dari seorang gadis suci bernama Wulan
Setelah beberapa saat, masih dalam keadaan yang tanpa busana, Wulan menangis tersedu-sedu. Ia terus menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia merasa bahwa hidupnya telah hancur, masa depannya telah tiada.
“Sudahlah Lan, jangan kau tangisi. Aku janji aku enggak akan ninggalin kamu.” Ucap Hadi sambil membenarkan pakaiannya.
Tiba-tiba Wulan langsung berdiri dan memeluk Hadi dari belakang dan tangisnya pun tumpah di punggung Hadi. Sehingga Hadi membalikkan badannya untuk memeluk Wulan dari depan.
“Jangan tinggalin aku Had.”
“Enggak kan pernah.”
“Janji Had?”
Hadi tidak menjawab, ia hanya mengangguk.
“Apa janjimu Had?” tanya Wulan sambil terus membenamkan mukanya di dada Hadi.
Hadi yang saat itu masih bingung menjawab apa akhirnya berbicara sekenaknya. “Aku janji, aku enggak bakalan mencari wanita lain selain dirimu. Dan apabila aku sampai menikah dengan wanita selain dirimu, hubungan itu tidak akan lebih dari 70 hari, Tuhan lah yang menjadi saksi janji ku ini.” Yang kemudian diikuti dengan sambaran petir yang menyambar begitu kuat, seolah-olah merupakan jawaban akan janji yang telah diucapkan oleh Hadi.
Tiba-tiba Hadi tersentak kaget dari lamunannya, ia merasa sadar akan apa penyebab dari kejadian pahit yang selalu menimpanya. Kemudian ia merasakan bahwa tubuhnya gemetar, ia baru saja menyadari penyebab kejadian yang telah terjadi terhadap istri-istri tercintanya yang dulu-dulu.
Perasaan Hadi semakin kalut, matanya menjadi nanar. Bagaimana mungkin janji yang ia ucapkan dulu kini benar-benar menjadi sebuah kenyataan. Padahal semua ucapannya waktu itu hanyalah rayuan biasa yang sering ia lontarkan terhadap pacar-pacarnya. Apalagi tidak mungkin bagi hadi untuk menikahi Wulan. Mengingat Wulan telah meninggal dunia sebulan setelah ia renggut kehormatannya. Bahkan Wulan meninggal akibat bunuh diri karena ia menyadari kalau ia telah telat datang bulan.
Semua perasaan kini berkecamuk dalam hati Hadi. Penyesalan, kesedihan, dan rasa marah bercampur menjadi satu. Ia pandangi tubuh Marni yang tergolek lemah di sebelahnya hingga pandangannya berhenti di wajah Marni. Kemudian ia menjulurkan tangannya untuk menjamah wajah Marni.
Begitu tangannya menyentuh wajah Marni, ia kaget bukan kepalang. Wajah Marni begitu dingin. Dingin sekali, bahkan tampak lebih pucat dari biasanya. Dengan tangan gemetar, Hadi menaruh jari telunjuknua di lubang hidung Marni. Dan ternyata hembusan itu telah tiada. Kemudian Hadi terjatuh ke lantai dan tidak ingat suatu apa pun.
Inderalaya, 15 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar